Menimbang Ideologi Sesuai dengan Nalar dan Fitrah Kemanusiaan
Senin, 21 Januari 2013
0
komentar
LOVE ISLAM - Secara fitrah, manusia adalah makhluk yang serba terbatas
(relativismus uber alles). Keserbaterbatasan manusia ini telah cukup
mengantarkan manusia pada situasi dimana ia senantiasa membutuhkan (dan
bergantung pada) Zat Yang Tak Terbatas alias Yang Maha Mutlak
(Absolutismus uber alles); Dialah Tuhan sebagai The Ultimate Reality
(Realitas Tertinggi, Wâjib al-Wujûd); Dialah Allah SWT. Secara fitrah pula, manusia dianugerahi oleh Allah SWT. naluri untuk beragama atau religiusitas (gharîzah at-tadayyun),
yang merupakan sesuatu yang sudah built-in dalam dirinya, bahkan
sejak sebelum kelahirannya ke alam dunia. Naluri ini telah cukup
mendorong manusia untuk melakukan pemujaan terhadap apa yang
dianggapnya sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi) itu.
Sayang, dua kenyataan primordial (fitri) ini tidak serta-merta menjadikan manusia “tahu diri”; entah karena mereka tidak berpikir rasional (tidak menggunakan akal) atau karena mereka terlalu percaya diri akibat hegemoni hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Pada saat ini, ketidaktahudirian manusia itu tercermin dalam dua sikap:
- Pengingkaran secara total (sepenuh hati) terhadap eksistensi Tuhan sang Pencipta (ateisme). Ini tergambar pada manusia yang berpaham materialisme. Materialisme ini kemudian menjadi dasar pijakan ideologi Sosialisme-komunis.
- Pengingkaran secara “setengah hati” terhadap eksistensi Tuhan. Ini tergambar pada manusia yang berpaham sekularisme, yakni yang mengakui keberadaan Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia, karena yang dianggap punya otoritas untuk mengatur manusia adalah manusia sendiri. Sekularisme ini kemudian menjadi landasan ideologi Kapitalisme-sekular.
Padahal, alhamdulillah, dengan kasih-sayang-Nya, Allah SWT. telah lama
(jauh sebelum kelahiran ideologi Sosialisme-komunis dan
Kapitalisme-sekular) menurunkan wahyu-Nya kepada manusia untuk
membimbing manusia kembali pada fitrahnya, kembali pada jatidirinya
yang asli, yakni sebagai makhluk yang serba terbatas dan memiliki
(secara built-in) religiusitas dalam dirinya. Wahyu itu tidak lain
adalah Islam, yang akidahnya mengajari manusia untuk meyakini secara
total dan sepenuh hati eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk
mengatur kehidupan manusia. Akidah inilah yang kemudian menjadi basis
ideologi Islam sebagai satu-satunya ideologi yang rasional dan sesuai
dengan fitrah manusia.
Tulisan berikut tidak lain ingin membuktikan kembali “klaim” di atas
(yakni bahwa hanya Islamlah satu-satunya ideologi rasional dan sesuai
dengan fitrah manusia) dengan cara membandingkan ketiga ideologi di
atas, yakni Sosialisme-komunis, Kapitalisme-sekular, dan Islam;
melalui perspektif yang paling mendasar: akidah.
Realitas Ideologi
Secara umum, ideologi (Arab: mabda’) adalah pemikiran paling asasi
yang melahirkan (sekaligus menjadi landasan bagi) pemikiran-pemikiran
lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran
mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah (’aqîdah),
yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2)
sekularisme; (3) Islam.
Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam
semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah
kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan
sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990). Akidah ini
kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat
aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia
dalam berbagai aspeknya (politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan,
dan sebagainya). Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari
akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih
spesifik, ideologi (mabda’) dapat didefinisikan sebagai keyakinan
rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau
seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22).
Pada kenyataannya, di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1)
Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2)
Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam,
yang lahir dari akidah Islam.
Realitas Akidah Materialisme, Sekularisme, dan Islam
[1] Materialisme
Materialisme adalah akidah yang memandang bahwa alam semesta, manusia,
dan kehidupan merupakan materi belaka; materi ini mengalami evolusi
dengan sendirinya secara subtansial sehingga tidak ada Pencipta
(Khalik) dan yang dicipta (makhluk). Dalam perspektif Karl Marx,
peletak dasar ideologi Sosialisme-komunis, alam mengalami evolusi
mengikuti hukum gerak materi; alam tidak membutuhkan Akal Holistik
(Pencipta) (Ghanim Abduh, 2003: 3). Senada dengan Marx, Lenin, ideolog
sekaligus realisator Marxisme, dengan mengutip filosof Heraclitus
(540-480 SM), menyatakan, “Alam adalah wujud tunggal yang tidak pernah
diciptakan oleh Tuhan atau manusia manapun. Ia telah ada, selalu ada,
dan akan selalu ada sebagai api yang terus menyala selama-lamanya.”
(Vladimir Ilich, 1870-1924).
Oleh karena itu, penganut akidah materialisme pada dasarnya adalah
ateis (mengingkari Tuhan). Bahkan, penganut akidah ini memandang bahwa
keyakinan terhadap Tuhan (agama) adalah berbahaya bagi kehidupan.
Dalam bahasa Lenin, keyakinan terhadap agama adalah “candu” masyarakat
dan “minuman keras” spiritual. Dalam manifesto politiknya, Lenin
secara ekstrem menyebut agama sebagai salah satu bentuk penindasan
spiritual yang, dimana pun ia berada, amat membebani masyarakat
(Lenin, 1972: 83-87).
Pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan ini kemudian melahirkan sebuah
keyakinan, bahwa dunia ini harus diatur berdasarkan prinsip dialektika
materialisme yang melibatkan semua unsur materi, yakni: manusia,
alam, dan sarana kehidupan (alat-alat produksi). Dari sini muncullah
ideologi Sosialisme-komunis, yang didasarkan pada akidah materialisme,
yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia; tentu di luar aspek religiusitas dan spiritualitas
manusia yang telah diingkarinya.
[2] Sekularisme
Sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang mengakui eksistensi
Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia. Dengan kata
lain, akidah ini mengakui keberadaan agama tetapi tidak otoritasnya
untuk mengatur kehidupan. Singkatnya, sekularisme adalah akidah yang
menetralkan (baca: memisahkan) agama dari kehidupan.
Secara historis, sekularisme merupakan akidah “jalan tengah” yang
lahir pada Abad Pertengahan, sebagai bentuk kompromi para pemuka agama
yang menghendaki kehidupan manusia harus tunduk pada otoritas mereka
(dengan mengatasnamakan agama), dengan para filosof dan cendekiawan
yang menolak otoritas agama dan dominasi para pemuka agama dalam
kehidupan. Dengan demikian, para penganut sekularisme sebetulnya tidak
mengingkari Tuhan (agama) secara mutlak; mereka hanya menginginkan
agar Tuhan (agama) tidak mengatur kehidupan mereka.
Pengingkaran terhadap otoritas Tuhan ini selanjutnya melahirkan sebuah
pandangan bahwa manusialah (melalui mekanisme demokrasi) yang
berwenang secara mutlak untuk mengatur kehidupannya sendiri secara
bebas, tanpa campur tangan Tuhan (agama). Dari sini lahirlah ideologi
Kapitalisme-sekular, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia; tentu di luar aspek agama
yang telah mereka singkirkan dari kehidupan.
[3] Islam
Islam adalah akidah yang meyakini eksistensi Tuhan sebagai Pencipta
alam, manusia, dan kehidupan ini; sekaligus mengakui bahwa Dialah
satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan manusia.
Singkatnya, akidah Islam mengajari manusia tentang keyakinan dan
kepasrahan total kepada Tuhan sang Pencipta, yakni Allah SWT.
Keyakinan terhadap eksistensi sekaligus otoritas Tuhan inilah yang
kemudian melahirkan keyakinan bahwa Tuhanlah satu-satunya Yang mutlak
dan berhak membuat hukum, sementara manusia hanya sekadar pelaksananya
saja. Dari sini lahirlah ideologi Islam, yang juga berisi seperangkat
aturan dalam berbagai aspek kehidupan manusia; termasuk yang
menyangkut aspek religiusitas dan spiritualitas manusia, atau yang
menyangkut agama.
Menimbang Ideologi Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam
Dari paparan di atas, manakah akidah/ideologi yang masuk akal
(rasional) dan sesuai dengan fitrah manusia? Jawabannya adalah sebagai
berikut:
[1] Sosialisme-Komunis
Dalam perspektif rasio, dengan mengingkari eksistensi sang Pencipta,
ideologi ini jelas tidak rasional. Alasannya: (a) Seluruh materi yang
ada di dunia ini, termasuk manusia, memiliki keterbatasan dan
bergantung pada yang lain. Akal kita yang jujur akan mengakui, bahwa
segala yang terbatas ini pasti membutuhkan Zat Yang Tak Terbatas.
Itulah Pencipta, Tuhan. (b) Manusia dan alam semesta memiliki
keseimbangan, keteraturan, harmoni, dan keindahan yang luar biasa; yang
semua itu tidak mungkin terjadi serba kebetulan tanpa ada Zat Yang
menciptakan dan mengendalikannya.
Adapun secara fitrah, ideologi ini jelas bertentangan dengan kenyataan
bahwa dalam diri manusia ada naluri beragama (religiusitas), yang
mendorongnya selalu cenderung untuk melakukan pengagungan/pemujaan
kepada Zat Yang lebih tinggi dari dirinya; baik mereka akui atau
tidak; baik yang mereka agungkan itu Tuhan Yang sebenarnya atau
“Tuhan” palsu. Pada faktanya, orang-orang ateis hanya mengalihkan
pengagungan itu (yang seharusnya kepada Tuhan) menjadi kepada manusia.
[2] Kapitalisme-Sekular
Dalam tinjauan nalar, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan tetapi tidak
otoritasnya untuk mengatur manusia adalah juga tidak rasional.
Alasannya: (a) Pengingkaran atas otoritas itu telah melahirkan sikap
manusia untuk membuat sendiri aturan bagi kehidupannya. Padahal
manusia, sebagai makhluk, pada faktanya tidak bisa memahami hakikat
dirinya sendiri. Yang tahu hakikat manusia adalah Pencipta-Nya, yakni
Allah SWT. Apabila manusia tidak memahami hakikat dirinya sendiri,
apalagi membuat aturan yang terbaik bagi dirinya. (b) Tuhan (dalam hal
ini Allah SWT.) telah menurunkan wahyu-Nya, yakni al-Quran, melalui
utusan (Rasul)-Nya untuk mengatur kehidupan manusia. Secara rasional,
al-Quran dapat dibuktikan kebenarannya sebagai wahyu Allah. Karena itu,
menjauhkan otoritas Tuhan Yang Mahatahu untuk mengatur kehidupan
manusia adalah tidak rasional.
Adapun secara fitrah, manusia, ketika dibiarkan bebas membuat sendiri
peraturan bagi kehidupannya, terbukti melahirkan banyak perbedaan,
pertentangan, bahkan konflik. Peraturan yang dibuat juga sering
berubah-ubah sesuai dengan kecenderungan dan hawa nafsu manusia. Lebih
dari itu, fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat
manusia (karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa
nafsunya) telah melahirkan banyak ekses negatif, menciptakan banyak
kerusakan, dan menimbulkan banyak kekacauan. Itulah yang terjadi
seperti saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada
rakyat melalui mekanisme demokrasi.
[3] Islam
Dalam perspektif akal, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan sekaligus
otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan manusia adalah rasional.
Alasannya: (a) Pada faktanya, di samping akal dapat membuktikan secara
benar bahwa Tuhan sang Pencipta, yakni Allah SWT. itu ada, akal pun
dapat membuktikan bahwa Dia telah menurunkan wahyu-Nya berupa al-Quran
kepada Rasul-Nya, yang kebenarannya sebagai wahyu bisa dibuktikan
secara rasional. Di dalam al-Quran sendiri tidak akan ditemukan adanya
pertentangan antar satu ayat dengan ayat lain, atau antar satu aturan
dengan aturan lain, yang menunjukkan bahwa ia berasal dari Zat Yang
Mahakuasa. (b) Sepanjang aturan-aturan al-Quran diterapkan dalam
seluruh aspek kehidupan manusia, terbukti bahwa ia mendatangkan rahmat
bagi umat manusia seluruhnya. Ini adalah fakta sejarah yang pernah
terjadi dan berjalan selama-berabad-abad sejak zaman Nabi saw.
mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah hingga keruntuhan Kekhilafahan
Islam terakhir di Turki, yang diawali oleh banyaknya penyimpangan
terhadap al-Quran yang dilakukan penguasa.
Adapun secara fitrah, pengakuan atas eksistensi Tuhan sekaligus
otoritas-Nya untuk mengatur manusia sesuai dengan fitrah manusia yang
serba terbatas, serba kurang, dan serba lemah; yang menjadikannya
butuh pada yang lain. Keserbaterbatasan, keserbakurangan, dan
keserbalemahan manusia ini pada faktanya membuktikan bahwa manusia
membutuhkan berbagai peraturan bagi kehidupannya yang tidak berasal
dari dirinya, tetapi bersumber dari al-Khalik, Tuhan Pencipta alam.
Kesimpulan
Walhasil, dari paparan di atas, secara nalar (rasio, akal) maupun
fitrah, juga berdasarkan realitas sejarah manusia, terbukti bahwa
hanya Islamlah satu-satunya ideologi yang rasional dan sesuai dengan
fitrah manusia. Sebaliknya, Sosialisme-komunis dan Kapitalisme-sekular
adalah ideologi yang tidak rasional dan bertentangan dengan fitrah
manusia; di samping terbukti dalam sejarah telah menimbulkan banyak
ekses negatif, kerusakan, dan kekacauan.
Sudah selayaknya kaum Muslim segera meninggalkan berbagai aturan yang
berasal dari ideologi Sosialisme-komunis maupun Kapitalisme-sekular,
yang nyata-nyata bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti
banyak menyengsarakan kehidupan umat manusia. Keengganan manusia untuk
diatur dengan aturan-aturan Allah hanyalah merupakan bukti
kesombongan, kelancangan, dan kekurangajaran dirinya di hadapan
Penciptanya, Allah SWT., Zat Yang Mahatahu atas segala sesuatu. Jika
kita tetap bertahan untuk berkubang dalam aturan-aturan buatan
manusia dan tetap enggan diatur dengan aturan-aturan Allah, layaklah
kita merenungkan kembali firman Allah SWT. berikut:
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik
hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?!” (QS al-Maidah
[5]: 50).
Ya, sekali ini kita patut merenungkan: Adakah hukum/aturan yang lebih
baik dibandingkan dengan hukum/aturan-aturan Allah?! Apakah
hukum/aturan-aturan yang berasal dari ideologi Sosialisme-komunis dan
Kapitalisme-sekular (yang notabene buatan manusia yang serba terbatas,
serba kurang, dan serba lemah) yang lebih baik ataukah
hukum/aturan-aturan Islam yang notabene buatan Allah Pencipta manusia
Yang Mahatahu atas segala sesuatu?!
Lalu mengapa kita tetap betah berkubang dalam sistem/aturan yang
berasal dari Kapitalisme-sekular yang terbukti buruk ini dan tidak
segera beranjak menuju sistem/aturan yang bersumber dari ideologi
Islam sebagai ideologi penebar rahmat?! Telah butakah mata dan kalbu
kita?! Na‘ûdzu billah mindzâlik!
sumber: kompasiana.com
sumber: kompasiana.com
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Menimbang Ideologi Sesuai dengan Nalar dan Fitrah Kemanusiaan
Ditulis oleh Love Islam
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://loveislaminfo.blogspot.com/2013/01/ideologi-islam-sesuai-dengan-nalar-dan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Love Islam
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar