Pangkal Masalah Kita Adalah Riba
Senin, 21 Januari 2013
0
komentar
LOVE ISLAM - Dalam
satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah
sallallahu’alaihi wassalam bersabda, “Akan datang suatu masa ketika
semua orang memakan riba. Mereka yang tidak mau makan riba pun pasti
terkena debunya.” Masa itu adalah hari ini, dan itu artinya kita semua
tengah terlibat dengan riba. Sebab, di masa ini, seluruh tata kehidupan
kita telah bercampur dengan riba hingga kita tak bisa menghindarinya.
Riba telah menjadi cara hidup kita. Perhatikanlah bagaimana kita
menjalani kehidupan sehari-hari saat ini.
Untuk memiliki sebuah
rumah, kendaraan, bahkan peralatan rumah tangga (tivi, perabot
elektronik, mebel, dsb), pada umumnya, kita membayarnya dengan kredit
berbunga. Sebab harga-harga kebutuhan hidup ini kalau harus dibeli
secara tunai sudah semakin tidak terjangkau. Lebih dari itu, untuk
kebutuhan sekunder pun, seperti untuk ongkos pendidikan dan biaya
kesehatan, malah untuk kehidupan hari tua, kebanyakan kita mengandalkan
layanan yang juga berbasis kredit berbunga. Entah namanya tunjangan atau
asuransi, dana pensiun atau tabungan hari tua.
Bisakah kita
menghindari riba, setidaknya debunya, ketika riba telah menggurita
menjadi sistem? Untuk bepergian pun, apalagi kalau melewati jalan tol,
Anda otomatis terlibat dengan sistem riba – karena ongkos tol dan pajak
jalan yang kita bayarkan mengandung riba, sebab investasinya berasal
dari kredit perbankan. Membeli bahan bakar dan gas pun mengandung riba.
Menggunakan jasa listrik dan telepon tidak bersih dari riba. Bahkan
seluruh layanan sosial yang disediakan oleh pemerintah pun, dalam bentuk
apa pun, sesungguhnya dibiayai dari utang berbunga dari perbankan.
Bukankah
untuk menggaji Pegawai Negeri Sipil, berserta segala tunjangan dan dana
pensiunnya, pun pemerintah mengandalkan APBN (Anggaran Pendapaan dan
Belanja Negara) yang berasal dari utang berbunga dari perbankan?
Sedangkan
riba mengakibatkan kesengsaraan bagi semua orang. Allah , subhanahu wa
ta’ala, menyatakan riba menyebabkan manusia “menganiaya dan dianiaya”.
Riba membuat beban kehidupan menjadi semakin tidak tertanggungkan, biaya
dan harga apa pun menjadi berlipat ganda. Sekali lagi perhatikan
kenyataan di sekeliling kita: belum lama di masa lalu setiap keluarga
secara relatif mudah dapat memiliki tanah dan sebuah rumah yang layak.
Tapi, ketika tanah-tanah mulai dikuasai oleh para bankir melalui
pengembang-pengembang, memiliki rumah menjadi kemewahan.
Dengan
dalih menolong masyarakat para bankir menciptakan Kredit Perumahan
Rakyat (KPR). Apa akibatnya? Justru harga rumah semakin tak terjangkau.
KPR yang semula ditujukan untuk rumah bertipe 70, harus diturunkan untuk
tipe 60, lantas untuk tipe 45, lalu tipe 36, dan kini semakin kecil
lagi untuk tipe 21. Itu pun hanya bisa dibeli oleh sedikit orang, karena
harganya yang semakin mahal.
Juga untuk biaya kesehatan dan
pendidikan. Lagi-lagi dengan dalih membantu masyarakat untuk
“meringankan” biaya jasa sosial ini para rentenir menciptakan berbagai
bentuk kredit, asuransi, tunjangan, dan sejeisnya, yang semuanya
berbasis pada utang berbunga. Lagi-lagi akibatnya adalah justru biaya
kesehatan dan pendidikan semakin tidak terjangkau. Sebab, selain
membayar ongkos untuk jasa pendidikan dan kesehatan itu sendiri, masih
harus ditambah dengan biaya bunganya. Dan jangan lupa bunga itu adalah
bunga berganda, berlipat-lipat dengan berjalannya waktu.
Sistem
perbankan memastikan riba sekecil apa pun menjadi berlipat ganda.
Pelipatgandaan ini bukan saja terjadi secara linier, pada utang berbunga
yang secara langsung dikenakan oleh perbankan pada kredit yang
dikeluarkannya, tetapi efek rentetan yang terjadi pada setiap transaksi
yang mengandung utang berbunga, yang ditanggung oleh seluruh masyarakat
dalam bentuk beban hidup yang semakin mahal. Maka dalam Al Qur’an Allah ,
subhanahu wa ta’ala, melarang pemraktekan riba dengan sangat keras.
Riba mempengaruhi semua sektor ekonomi riil karena melibatkan unsur cost of money,
disebut bunga atau tidak, yang juga mematikan sejumlah sektor riil ini
karena hambatan “biaya uang” tersebut. Akibat lanjutnya adalah
tertutupnya kesempatan jutaan lapangan pekerjaan. Dalam prakteknya
pinjam-meminjam uang berbunga ini merupakan kegiatan sewa-menyewa uang.
Sehingga masyarakat tidak terdorong menginvestasikan uangnya ke sektor
produktif. Berapa juta lapangan pekerjaan yang tertutup dengan uang
masyarakat yang disewakan kepada perbankan atau lembaga keuangan
nonbank, dengan bunga katakanlah 15%/tahun, misalnya, dibandingkan
dengan bila uang-uang tersebut diproduktifkan dalam kegiatan ekonomi
riil melalui skema bagi hasil, misalnya?
Ambillah contoh keadaan
saat ini ketika perbankan – disebut bank konvensional atau bank syariah –
maupun turunannya, termasuk BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) dan
BMT (Baitul Mal wa Tamwil), yang tidak lain adalah skama kredit mikro,
mengenakan bunga atau cost of money pada pinjaman sebesar 15%
tersebut di atas, maka kegiatan usaha produktif yang memberikan
keuntungan kurang dari 15% dianggap tidak layak. Apa akibatnya? Banyak
lapangan kerja yang tertutup dan ekonomi yang tidak efisien karena
tambahan biaya akibat riba.
Belum lagi ditambahkan beban riba
berbentuk aneka rupa pajak, yang juga berlapis-lapis adanya, mulai dari
pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan,
pajak kendaraan, bea dan cukai, sampai bea materai. Akibat lanjutnya
adalah harga barang dan jasa yang tidak bisa lagi murah, karena
pertama-tama harus ditambahkan dengan harga sewa uang atau modal yang
dipakai dalam menghasilkan barang dan jasa tersebut, serta pajak-pajak
yang dikenakan atas seluruh proses produksi itu, pada produknya sendiri,
bahkan pada prose jual-belinya. Denyut ekonomi kita adalah denyut riba.
Kita menyebutnya sebagai sistem kapitalisme.
Jadi, akar persoalan kita adalah riba. Tapi, solusi yang ditawarkan pun, adalah riba berikutnya!
Dan,
boleh jadi ini akan yang mengagetkan Anda, bahwa seluruh rangkaian
sistem riba ini dimulai dari isi dompet kita sendiri, yakni keberadaan
uang kertas. Kenyataan bahwa uang kertas adalah riba akan kita bahas
secara lebih rinci di belakang nanti. Berikut kita pahami dulu posisi
riba di hadapan Allah, subhanahu wa ta’ala, dan RasulNya salallahualaihi
wassalam.
Dosa Riba Sesudah Syirik
Kenyataan
bahwa kita hidup di tengah samudra riba tidak boleh kita biarkan.
Keterlibatan kita semua, sebagaimana Allah , subhanahu wa ta’ala,
indikasikan dalam al Qur’an, adalah sebagai pelaku (menganiaya)
sekaligus korban (dianiaya). Sistem riba adalah rantai kezaliman. Karena
itu menjadi kewajiban setiap muslim untuk menghentikannya. Allah ,
subhanahu wa ta’ala, mengancam hukuman yang berat bagi para pelaku riba.
Dosa yang harus kita tanggung karena keterlibatan kita dengan riba
adalah dosa terbesar kedua sesudah syirik. Rasulullah sallallahu’alaihi
wassalam telah menegaskan bahwa kedudukan mereka yang terlibat dengan
riba – langsung atau tidak langsung – yaitu “yang membayarkan, yang
menerima, yang mencatat, dan yang menyaksikannya” adalah sama (H.R.
Muslim). Kita semua berdosa atasnya. Dan, ketahuilah, bahwa dosa karena
riba ini tidaklah main-main.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah serta
Baihaqi bahwa Abu Hurairah, semoga Allah meridhoinya, mengatakan bahwa
Rasulullah, salallahu alaihi wassalam, mengatakan: “Riba terdiri atas 70
jenis yang berbeda-beda, yang paling ringan dosanya ialah setara dengan
seorang lelaki bersetubuh dengan ibu kandungnya di Masjidil Haram.”
Dalam riwayat lain oleh Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah dikatakan
Rasulullah, salallahu alaihi wassalam, menyatakan: “Satu dirham riba,
yang diterima oleh seorang lelaki dengan sepengetahuannya, lebih buruk
dibanding berzina tiga puluh enam kali.”
Kalau dosa riba begitu
besar, bagaimana hukuman bagi para pelakunya? Kembali Abu Hurairah (HR
Ahmad, Ibnu Majah) meriwayatkan Rasulullah, salallahu alaihi wassalam,
yang bersabda: “Pada malam aku naik ke surga aku mendatangi orang-orang
yang perutnya sebesar rumah penuh dengan ular yang terlihat dari luar.
Aku bertanya kepada Jibril siapa mereka dan dia menjawab bahwa mereka
adalah orang-orang yang memakan riba.” Riwayat lain dari Samurah bin
Jundab mangabarkan bahwa Rasulullah, salallahu alaihi wassalam,
mengatakan bawa pemakan riba akan hidup dalam sungai darah.
Dalam
hadis sahih dari Bukhari tersebut Rasul salallahu alaihi wassalam,
mengatakan: “Semalam aku bermimpi melihat dua lelaki mendatangiku dan
membawaku ke tempat suci lalu dari sana kami melanjutkan perjalanan
hingga ke sebatang sungai darah, di sana ada seorang lelaki berdiri di
tengahnya dan di satu tepiannya berdiri seorang lelaki dengan batu-batu
di tangannya. Lelaki yang berada di tengah sungai mencoba untuk keluar
tetapi lelaki satunya melemparkan sebuah batu ke dalam mulutnya dan
memaksanya kembali ke tempat semula. Setiap kali dia mencoba untuk
keluar dari sungai tersebut setiap kali pula lelaki yang lain
melemparkan sebuah batu ke dalam mulutnya yang memaksanya kembali ke
tengah sungai. Aku bertanya: ‘Siapa orang ini?’ Aku diberi jawaban:
‘Orang yang berada di tengah sungai ialah orang yang memakan riba.’”
Mengapa semua berdosa dan dosanya begitu besar?
Sudah
dijelaskan sebelumnya riba menyebabkan manusia saling menganiaya dan
menjadikan kehidupan kita tidak lagi sesuai dengan fitrah. Seorang
dokter terpaksa mengenakan tarif yang sangat mahal kepada pasien, karena
untuk menjadi seorang dokter dia harus membayar sangat mahal untuk
pendidikannya. Biaya sekolah bulanan (SPP) tinggi karena tidak hanya
dipakai untuk membiayai ongkos belajar-mengajar tetapi juga untuk
mengembalikan kredit investasinya. Gedung dan peralatan rumah sakit pun
dibiayai oleh para bankir dengan bunga berbunga. Pagawai negeri terpaksa
korupsi karena gajinya tak mencukupi. Banyak kehidupan suami-istri
tidak tentram akibat terlilit utang. Penagih utang (debt collector)
menjadi profesi yang sangat dibutuhkan saat ini. Belakangan kita acap
mendengar berita seorang ibu atau ayah yang melakukan bunuh diri akibat
tidak tahan menanggung biaya hidup.
Itu sebabnya Allah ,
subhanahu wa ta’ala, mengancam para pelaku riba dengan hukuman “menghuni
neraka, kekal di dalamnya” (QS: 2: 275). Orang-orang yang terlibat
dengan riba, dan untuk saat sekarang itu berarti hampir semua orang,
disebutkan oleh Allah , subhanahu wa ta’ala, sebagai “tidak dapat
berdiri dengan tegak, melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan
setan lantaran penyakit gila.” (QS: 2:276). Ya, betul sekali, “seperti
kerasukan setan dan berpenyakit gila”, bukankah itu yang kita alami saat
ini? Semua orang hidupnya gelisah, khawatir dengan masa depan, tidak
berani menghadapi hidup, menjadi kikir dan bakhil serta enggan
bersedekah, egois dan tidak peduli dengan orang lain, bahkan saling
membunuh. Namun, justru karena itu pulalah, industri riba – asuransi,
kredit, tunjangan pensiun, dan lain sebagainya semakin merajalela.
Psikosis massal diperlukan bagi suburnya industri riba ini.
Sedemikian
luas dan halusnya sistem riba ini melingkungi hidup kita, sampai-sampai
kita tidak dapat membedakan lagi, mana yang riba dan mana yang bukan.
Allah , subhanahu wa ta’ala, menyatakan bahwa mereka yang memakan riba
itu bahkan telah menyatakan “riba sama dengan berdagang.” (QS: 2:278).
Berbagai komoditas, mulai dari rumah sampai rice cooker, mobil sampai
sepeda motor – baru maupun bekas – tidak lagi diperdagangkan secara
halal, tetapi sekadar dijadikan alat untuk bermain riba. Bahkan, alat
tukar yang kita gunakan pun, uang kertas bernama rupiah atau dolar atau
ringgit, adalah instrumen riba.
Tetapi bagi kita, orang-orang
beriman, bukan tidak ada jalan keluarnya. Allah , subhanahu wa ta’ala,
mengharamkan riba, tapi menghalalkan perdagangan. Lagi pula, Allah ,
subhanahu wa ta’ala, menyatakan bahwa pada akhirnya (hasil) riba akan
dimusnahkannya, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.”
(QS:2:276). Harta riba itu bisa jadi dimusnahkan secara keseluruhan dari
tangan pemiliknya ataupun dihilangkan berkah dari harta tersebut
sehingga pemiliknya tidak dapat mengambil manfaatnya. Allah Subhanahu wa
ta’ala juga berfirman: “Apa yg kalian datangkan dari riba guna menambah
harta manusia maka sebenarnya riba itu tidak menambah harta di sisi
Allah.” Rasul sallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Tidak ada
seorang pun yang banyak terlibat riba kecuali akhir dari perkaranya
adalah harta yang menjadi sedikit.”
Begitulah riba pada akhirnya
harus musnah. Kita mentaati perintah untuk meninggalkannya atau
membangkangnya Allah , subhanahu wa ta’ala, memastikan keruntuhannya.
Dalam bahasa yang sangat tegas Allah , subhanahu wa ta’ala, dan
Rasul-Nya menyatakan perang atas riba (QS: 2:279). Dan peperangan atas
sistem riba ini telah mulai kita lihat wujudnya dalam
peristiwa-peristiwa yang kita kenali sebagai “krisis finansial” atau
“krisis moneter”, yang kini terjadi di mana-mana.
sumber: islampos.com
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Pangkal Masalah Kita Adalah Riba
Ditulis oleh Love Islam
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://loveislaminfo.blogspot.com/2013/01/pangkal-masalah-kita-adalah-riba.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Love Islam
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar